Kertas Posisi Penerapan Mekanisme Transisi Energi untuk PLTU Batubara Cirebon Unit 1 di Indonesia:  Kami menolak keras mekanisme yang dibuat hanya demi kepentingan greenwashing besar-besaran oleh korporasi raksasa, dan bukan demi kepentingan iklim, lingkungan, dan masyarakat lokal

> Klik di sini untuk PDF (Terjemahan bahasa Inggris dan Jepang)

Kertas Posisi Penerapan Mekanisme Transisi Energi untuk PLTU Batubara Cirebon Unit 1 di Indonesia:  Kami menolak keras mekanisme yang dibuat hanya demi kepentingan greenwashing besar-besaran oleh korporasi raksasa, dan bukan demi kepentingan iklim, lingkungan, dan masyarakat lokal

28 Februari 2024

Satu tahun tiga bulan telah berlalu sejak nota kesepahaman (MOU) ditandatangani antara Asian Development Bank (ADB), Otoritas Penanaman Modal (INA), PT. PLN (Persero), dan Cirebon Electric Power (CEP) pada tanggal 14 November 2022 tentang pemanfaatan Mekanisme Transisi Energi (Energy Transition Mechanism/ETM) ADB untuk pemensiunan dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon Unit 1 (Cirebon 1). Namun, selama periode ini, masyarakat sipil, termasuk warga yang memiliki kekhawatiran terhadap berjalannya proyek, memiliki kesempatan yang sangat terbatas untuk mendapatkan informasi yang lebih rinci tentang bagaimana proyek akan dinonaktifkan, dan tidak memiliki kesempatan untuk berpartisipasi secara penuh dan bermakna dalam proses pengambilan keputusan.

Situs web ADB, baru-baru ini, hanya menyediakan beberapa dokumen yang relevan dalam bahasa Inggris[1]. Namun, kami mengecam keras fakta bahwa kerangka dasar tentang bagaimana ETM akan digunakan di Cirebon 1 telah ditetapkan tanpa adanya kesempatan bagi masyarakat sipil untuk berpartisipasi secara penuh dan bermakna dalam proses pengambilan keputusan, seperti yang dijelaskan di atas. Kerangka kerja dasar  yang ditetapkan dalam dokumen-dokumen tersebut sangat jauh dari kerangka kerja yang kami yakini diperlukan dalam menjalankan  pensiun dini PLTU Cirebon 1.

ETM yang saat ini tengah dijalankan di PLTU Cirebon 1 tidak benar-benar ditujukan untuk mengatasi krisis iklim yang akan segera terjadi, dan kurang mempertimbangkan masyarakat setempat, yang telah terkena dampak yang parah akibat pembangunan dan pengoperasian PLTU Cirebon 1. Di sisi lain, ETM penuh dengan tipu muslihat yang membebaskan perusahaan besar yang berinvestasi di CEP dari tanggung jawab atas krisis iklim dan justru lebih condong memberi jalan bagi korporasi besar ini untuk dapat mempertahankan keuntungan mereka. Sebuah mekanisme dimana ADB serta pemodal publik dan swasta lainnya memberikan dukungan kuat kepada korporasi-korporasi besar atas nama transisi energi meskipun hal itu tidak akan menghasilkan solusi nyata bagi krisis iklim, dan tidak lebih dari sekedar upaya greenwashing besar-besaran.

Oleh karena itu, kami ingin menegaskan kembali penolakan  kami terhadap mekanisme atau proses apa pun yang saat ini sedang berlangsung atas nama transisi energi yang terjadi di PLTU Cirebon 1.

Alasan konkret kami untuk menolak berpartisipasi dalam ETM yang saat ini sedang berlangsung untuk PLTU Cirebon 1 adalah sebagai berikut:

1. PLTU Cirebon 1 harus pensiun sedini mungkin:

Tidak perlu diragukan lagi, mengingat krisis iklim yang akan segera terjadi, PLTU Cirebon 1 harus dinonaktifkan sedini mungkin. Selain itu, mengingat dampak parah yang ditimbulkan oleh pembangunan dan pengoperasian PLTU Cirebon 1 terhadap penduduk setempat dalam hal mata pencaharian mereka, seperti tambak garam dan tempat penangkapan ikan, serta kesehatan mereka, maka sangat penting untuk menghentikan operasi PLTU Cirebon 1 sesegera mungkin dan melakukan langkah-langkah perbaikan dari dampak lingkungan dan sosial, termasuk pemulihan sepenuhnya ke kondisi semula. Juga telah nyata-nyata tidak ada alasan pembenaran untuk terus memperpanjang operasi PLTU Cirebon 1, mengingat adanya kelebihan pasokan listrik yang kronis di jaringan listrik Jawa-Bali, yang diperkirakan akan terus berlanjut hingga satu dekade ke depan.

Namun demikian, kerangka kerja untuk pemensiunan dini PLTU Cirebon 1, yang saat ini sedang diimplementasikan dengan menggunakan ETM, telah mengindikasikan bahwa pemensiunan dini atau alih pemanfaatan (repurposing) PLTU Cirebon 1 pada tahun 2035 sebagai hal yang sudah ditentukan[2]. Dengan kata lain, alih-alih mendorong pemensiunan PLTU Cirebon 1 sedini mungkin, kerangka kerja ini justru memberikan pembenaran untuk mengoperasikan PLTU Cirebon 1 selama 11 tahun lagi, yang mana hal ini masih jauh dari kerangka kerja yang bisa kami terima.

2. Mempertahankan keuntungan korporasi besar dengan melakukan “alih pemanfaatan" PLTU  batu bara dengan menggunakan “solusi palsu untuk perubahan iklim" harus dihindari:

Seperti yang dinyatakan di atas, PLTU Cirebon 1 harus dinonaktifkan sedini mungkin. Menggunakan kembali PLTU Cirebon 1 dengan teknologi yang akan memperpanjang usia PLTU batubara hanya akan memperpanjang dampak PLTU tersebut terhadap penduduk lokal dan lingkungan, serta dampaknya terhadap iklim. Di sisi lain, korporasi-korporasi besar yang telah mengembangkan Cirebon 1 akan terus mendapatkan keuntungan dari “alih pemanfaatan" PLTU Batubara bahkan setelah masa pensiun dini PLTU Batubara selesai sebagaimana mestinya. Kerangka kerja untuk transisi energi yang adil harus memprioritaskan masyarakat lokal, lingkungan, dan iklim, bukannya kerangka kerja yang hanya mengutamakan keuntungan korporasi besar.

Akan tetapi, berdasarkan dokumen-dokumen ADB yang relevan yang telah disebutkan di atas[3], opsi “alih pemanfaatan" masih belum dikesampingkan dalam diskusi mengenai pemensiunan dini PLTU Batubara dalam ETM ADB. Marubeni Corporation, investor terbesar dalam CEP, juga telah merujuk pada “pengaturan sumber daya alternatif"[4]. “Solusi palsu untuk perubahan iklim" yang dipromosikan, baik oleh pemerintah Jepang maupun korporasi-korporasi  di bawah Asia Zero Emission Community (AZEC), seperti hidrogen/amonia yang penuh dengan ketidakpastian serta penggunaan teknologi-teknologi lainnya, baik co-firing maupun fully-firing (100%), melalui kerangka kerja “alih pemanfaatan" PLTU Batubara di ETM hanya akan membawa keuntungan terus-menerus  bagi korporasi  besar, dan oleh karena itu, kami tidak akan pernah menoleransinya.

3. Kontradiksi antara pensiun dini PLTU Cirebon 1 dan pengoperasian PLTU Cirebon 2 harus diselesaikan:

Sudah jelas bagi kita semua bahwa tidak ada alasan pembenaran untuk memulai operasi PLTU Cirebon Unit 2 (1.000 MW. Cirebon 2), yang memiliki total emisi gas rumah kaca yang lebih tinggi dibandingkan dengan PLTU Cirebon 1 (660 MW), meskipun telah ada diskusi untuk pemensiunan dini Cirebon 1 karena mendesaknya penanganan krisis iklim.

Namun, fakta bahwa PLTU Cirebon 2 mulai beroperasi pada tahun 2023 adalah bukti bahwa upaya yang saat ini sedang berlangsung di bawah ETM untuk transisi energi di PLTU Cirebon 1 tidak lebih dari trik “shell game" (trik permainan tidak jujur yang dilakukan untuk mengelabui orang). Pendekatan yang konsisten terhadap krisis iklim harus diterapkan di setiap PLTU Batubara, tidak terkecuali di PLTU Cirebon 2 yang berdekatan dengan PLTU Cirebon 1. Selain itu, dengan terungkapnya kasus suap yang melibatkan PLTU Cirebon 2, maka PLTU Cirebon 2 harus dihentikan operasinya, baik dari sisi penanganan perubahan iklim maupun dari sisi dampak terhadap lingkungan dan masyarakat setempat.

4. Pembebasan korporasi yang terkait dengan PLTU batubara, yang seharusnya menjadi stranded asset, harus dihindari:

Korporasi-korporasi besar yang telah mempromosikan pembangunan dan pengoperasian PLTU Batubara meraup keuntungan yang sangat besar, seharusnya bertanggung jawab secara pantas atas dampak yang ditimbulkan terhadap iklim, lingkungan, dan masyarakat lokal.

Namun, tampaknya CEP, pemrakarsa PLTU Cirebon 1, kemungkinan besar akan mendapatkan kompensasi dari pinjaman ETM untuk kerugian yang diakibatkan oleh pemendekan jangka waktu Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (Power Purchase Agreement/PPA) dari Agustus 2042 menjadi Desember 2035[5]. Hal ini mengesampingkan fakta bahwa pertimbangan yang memadai masih kurang bagi masyarakat setempat yang mata pencaharian dan kesehatannya terdampak oleh pembangunan dan pengoperasian PLTU Cirebon 1 dan 2.

Kerangka kerja ETM ini hanya akan memberi pesan yang salah kepada korporasi-korporasi komersial yang terus berinvestasi di sektor batu bara bahwa mereka dapat menghindari tanggung jawab atau risiko aset yang terlantar di masa depan. Secara khusus, Cirebon Energi Prasarana (CEPR), operator PLTU Cirebon Unit 2, memiliki Presiden Direktur dan Wakil Presiden Direktur yang sama dengan CEP, operator PLTU Cirebon Unit 1, dan sekitar separuh dari tim manajemennya juga sama[6]. CEPR akan terus mengoperasikan Unit Cirebon 2 di bawah PPA 25 tahun tanpa mempertimbangkan risiko keterlantaran aset. Kami dengan tegas menolak kerangka kerja yang tidak adil dan tidak layak bagi iklim, lingkungan, dan masyarakat setempat.

Kontak:

Wahyudin – WALHI Jawa Barat (+6282129588964)
Fanny Tri Jambore – WALHI Eksekutif Nasional (+6283857642883)
Aan – Rapel (Rakyat Penyelamat Lingkungan) (+6281212209652 )
Dinda Maharani – KARBON (KOALISI RAKYAT BERSIHKAN CIREBON) (+6285942209476)


[1] https://www.adb.org/projects/documents/ino-56294-001-ipsa

[2] Sama dengan catatan kaki 1.

[3] Sama dengan catatan kaki 1.

[4] https://www.marubeni.com/en/news/2022/release/00089.html

[5] Sama dengan catatan kaki 1.

[6]  https://www.cirebonpower.co.id/cirebon-power/the-boards/